Sesederhana Melupakan, Mengikhlaskanmu Harus Ku Lakukan.

Kuhabiskan sisa hari ku malam ini dengan tangis yang tak bermuara. Membuang banyak tissue yang tak berdosa.
Bukan karena sakit fisik ku yang tak kunjung sembuh, atau otak ku yang tak kunjung berhenti untuk berfikir. Tapi, karena hati yang kian hari kian diperas untuk memikul rindu.
Aku kira, dulu aku meletakanmu pada sisi yang tidak ingin aku ingat lagi. Aku kubur dirimu pada tanah tandus hati ini. Tak kulihat, tak kurawat. Aku membiarkanmu, aku berharap kamu mati tak kembali.
Bagai di siram air mata tanpa henti, dipupuki sakit hati, dirimu tumbuh subur mengakar menutupi jantung.
Sekarang dirimu datang dalam pikiran. Menyiram gersangnya tanah tandus dalam lubuk hati hingga raga ini. Membuat aku memutar otak bagaimana cara menguburmu lagi, bukan didalam hati, bukan pula dalam pikiran, aku ingin meletakanmu pada kotak kenangan.
Aku biarkan diri ini yang terkubur dalam penyesalan, memecah tangis pada kerinduan. Dahagaku membuncah mengingat hal dulu yang aku lakukan, kiranya waktu dapat diputar.

Sesedarhana melupakanmu dahulu, melakukannya sekarang membuat raga tepanggang. Mengikhlaskanmu adalah satu-satunya hal yang harus aku lakukan.

M.A.T.I S.U.R.I

Aku pernah terpaksa bangun di tengah malam menuju pagi,
hanya karna ada luka basah tergores di dalam hati.
Perihnya sampai ke sekujur tubuh yang tidak tahu apa-apa.
Aku pernah dipaksa menangis oleh keadaan,
yang membuat aku sendiri lelah untuk menangis.
Aku menyiksa diri sendiri.
Hanya seujung kuku, pisau yang menggores pangkal hati,
membuat seluruh daging menggigil lesu.
Rasanya jantung ingin ku paksa berhenti.
Aku pernah tertawa lepas dalam tangis yang amat sangat.
Memaksa lupa, bahwa pernah ada cinta yang membuatku hampir mati.
Merasa paling tegar diantara kerikil tajam,
merasa paling kuat diterjang badai.
Walaupun, banyak sesak diruang yang gelap.
Aku pernah kebingungan,
dari mana harus memulai (lagi) hidup yang seperti biasa.
Hidupku yang belum pernah mengenal dia yang mengajarkan apa itu cinta yang luar biasa.
Otakku hampir beku,
terlalu dingin untuk berfikir.
Aku memaksa bibir bersimpul senyum,
walau hati dan pikiran hampir terbakar.
Aku pernah menahan sakit yang amat dalam,
yang membuat tubuhku roboh tak bertulang.
Aku pernah dibuang,
hampir mati dijalan yang dinamakan cinta.
Semudah menulis kalimat ini,
melewatinya penuh perjuangan.